Dalam program 3 juta rumah, sebanyak 1 juta rumah akan dibangun di perkotaan dalam bentuk hunian vertikal atau rumah susun (rusun). Saat ini, harga rumah susun (rusun) masih sangat mahal, untuk itu, REI siap melakukan revisi UU Perumahan, biar Menteri PKP Maruarar Sirait semakin paham soal problematika perumahan dan industri properti nasional.
KoranProperti.com (Jakarta) – Rencana pemerintah untuk membangun rumah susun (rusun) atau hunian vertikal menjadi prioritas utama, untuk menggantikan pembangunan rumah tapak di daerah perkotaan.
Di sisi lain, asosiasi pengembang perumahan, Real Estat Indonesia (REI) saat ini sedang menyiapkan sejumlah masukan, terkait revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU Perumahan).
Tujuan revisi UU Perumahan ini adalah agar Menteri PKP Maruarar Sirait memahami problematika perumahan nasional dan industri properti secara utuh.
Selama ini, berbagai pihak menilai bahwa Maruarar Sirait tidak memahami berbagai persoalan pelik terkait perumahan nasional, akibatnya industri properti dan perumahan nasional menjadi semakin kabur dan tidak jelas.
Terkait pembangunan rusun, pemerintah telah mewacanakan akan memberikan insentif untuk hunian vertikal atau rusun.
Menurut pemerintah, pemberian insentif ini akan mendorong minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal atau rusun.
Menanggapi adanya insentif untuk rusun ini, Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto mengatakan, tujuan pemberian insentif itu, sebenarnya untuk mengarahkan orientasi masyarakat perkotaan tinggal di hunian vertikal.
“Dengan adanya pemberian insentif ini, maka potensi masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal atau rusun akan naik,” kata Joko.
Dari program 3 juta rumah, sebanyak 1 juta rumah akan dibangun di perkotaan dalam bentuk hunian vertikal atau rusun. Insentif yang akan diberikan pemerintah ini dalam bentuk lahan yang tujuannya untuk mengurangi biaya pembangunan, sekaligus agar harga hunian vertikal atau rusun bisa lebih terjangkau oleh masyarakat.
“Insentif ini akan meringankan masyarakat, sehingga mereka akan lebih memilih hunian vertikal atau rusun,” tandas Joko.
Joko menambahkan, pemberian insentif ini mekanismenya harus diatur oleh pemerintah, misalnya untuk hunian golongan ASN, MBR dan masyarakat miskin yang tidak punya penghasilan tetap.

Perlu diketahui, harga rumah susun umum atau rusun subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sudah diatur berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 995/KPTS/M/2021 Tahun 2021.
Untuk wilayah Jakarta, Tangerang dan Depok harga rusun atau hunian vertikal umum berkisar antara Rp302.400.000 sampai Rp 345.000.000 untuk tipe luas 21 sampai 36 meter persegi. Sebagian pihak menilai, harga rumah susun ini masih terlalu mahal bagi golongan MBR, dan rakyat miskin yang tidak mempunyai penghasilan tetap.
Untuk saat ini, Joko belum bisa memberi kisaran harga rusun umum jika terdapat insentif, karena belum ada perhitungan pasti soal besaran insentif tesebut.
Revisi UU Perumahan
Berbicara mengenai revisi UU Perumahan, Joko menegaskan, pihaknya saat ini sedang menyiapkan bahan-bahan dan masukan dalam rangka merevisi UU perumahan, sesuai permintaan Kementerian PKP.
Sekarang ini, REI sedang menyusun daftar inventarisasi masalah, termasuk persoalan tanah, perizinan, peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, lingkungan hidup dan infrastruktur kawasan. Intinya ada tujuh tabulasi yang disiapkan.
“Semoga rencana revisi UU Perumahan ini, akan membuat Menteri PKP semakin memahami problematika perumahan Indonesia dan industri properti nasional,” ujar Joko.
Menurut Joko, dengan adanya revisi atau perubahan UU Perumahan ini, diharapkan akan berdampak positif bagi pembangunan perumahan nasional dan industri properti untuk jangka panjang.
Terkait perizinan pembangunan perumahan, sambung Joko, kebijakan yang sudah ada perlu segera direvisi atau ditiadakan, agar pelayanan publik dalam hal perizinan menjadi lebih transparan, walaupun sudah ada sistem online melalui Online Single Submission (OSS), namun dalam praktiknya masih tetap offline.
“Sedangkan untuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) di sektor perumahan, akan dikonsolidasikan menjadi izin tertentu. Karena saat ini, proses Amdal memakan biaya dan waktu. Khusus untuk waktu, proses penyelesaian Amdal ini, rata-rata butuh waktu minimal 6 bulan,” tutup Joko.
Simak dan ikuti terus perkembangan berita dan informasi seputar dunia properti dan bahan bangunan melalui ponsel dan laptop Anda. Pastikan Anda selalu update dengan mengklik koranproperti.com dan google news setiap hari.
Hotline Redaksi (WA) 0812 8934 9614