Menteri PKP Maruarar Sirait sampai saat ini tidak mampu berbuat apa-apa, terkait realisasi program 3 juta rumah. Selama ini, dia cuma wara-wiri membuat pernyataan di media, serta rajin mengintil para konglomerat.
KoranProperti.com (Jakarta) – Program 3 juta rumah untuk rakyat yang digadang-gadang bisa mengurangi backlog hunian, ternyata dalam pelaksanaannya di lapangan, banyak mengalami kendala teknis maupun non teknis.
Kendala itu diantaranya adalah belum adanya investor yang mau ‘menyemplungkan’ dana untuk investasi, terbatasnya lahan, masih rumitnya birokrasi pengurusan izin serta mentalitas pejabat yang masih melakukan ‘pungli’ secara terselubung serta mafia tanah yang rutin bekerja sama dengan oknum-oknum pejabat pertanahan.
Presiden Prabowo Subianto dalam setiap pidatonya yang berapi-api, memang punya ambisi besar untuk menyukseskan program 3 juta rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) melalui Kementerian PKP. Namun sayangnya, Menteri PKP Maruarar Sirait sampai saat ini, tidak mampu berbuat apa-apa, selain hanya wara-wiri dan gembar-gembor membuat pernyataan di media massa serta rajin mengintil para konglomerat.
Sampai saat ini, hasil kerja Menteri PKP, terkait penyediaan rumah rakyat gratis maupun rumah subsidi dengan harga terjangkau bagi MBR masih belum ada yang signifikan
Melihat fakta kerja Menteri PKP yang masih mengecewakan ini, Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Joko Suranto merespon bahwa ada tantangan besar yang sangat menghambat kesuksesan program 3 juta rumah pemerintah.
Dalam sebuah dialog belum lama ini di Jakarta, Joko menegaskan bahwa sistem yang ada saat ini adalah sebagai penyebab utama yang membuat program 3 juta rumah berpotensi gagal.
BACA INI: Daya Beli Masyarakat Tertekan, Harga Rumah Subsidi Berpotensi Dikaji Ulang
Menurut Joko, ada beberapa masalah fundamental yang membuat target 3 juta rumah sulit tercapai.
“Masalah yang pertama adalah regulasi yang belum jelas dan lambatnya pergerakan Kementerian PKP, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri. Sistem kerja sejumlah kementerian tersebut, saat ini tidak cukup untuk mengejar target 3 juta rumah,” tandas Joko.
Sistem yang dimaksud Joko yaitu koordinasi yang lambat di dalam lingkaran kementerian di atas. Itulah yang membuat para pengembang ragu untuk berinvestasi dalam program 3 juta rumah.
Kebijakan Pemerintah Harus Jelas
“Pemerintah perlu segera membuat kebijakan dan regulasi yang tepat, minimal terkait empat kebijakan utama yaitu pertanahan, perizinan (legalitas), pembiayaan, dan pengawasan,” ungkapnya.
Joko menilai, tanpa kebijakan yang jelas, seperti Peraturan Presiden (perpres) atau Peraturan Pemerintah (PP), tentang masyarakat desa yang berpenghasilan tidak tetap, akan sangat sulit diakui sebagai penerima manfaat.

“Saat ini, skema pembiayaan perbankan masih sulit diakses MBR karena legalitas tanah yang tersebar dan pendapatan informal mereka yang tidak diakui secara resmi,” ujar Joko.
Tanpa kebijakan yang jelas terkait legalitas (perizinan), sambung Joko, aset KPR menjadi tidak bisa disekuritisasi, akibatnya perbankan menolak memberikan pembiayaan kredit rumah.
“Untuk itulah, saya mengusulkan adanya subsidi selisih bunga (SSB) dan sistem akomodasi pendapatan informal, seperti yang pernah didiskusikan Satuan Tugas (Satgas) Perumahan pimpinan Hashim Djojohadikusumo yaitu 80 persen angsuran ditanggung pemerintah, sehingga MBR hanya membayar sekitar Rp120 ribu per bulan,” cetus Joko.
Dalam kesempatan itu Joko menegaskan. REI juga sudah memberikan solusi untuk program 3 Juta rumah dengan menyatakan kesiapannya membangun 2 juta rumah, termasuk 1 juta rumah tanpa APBN.
Menurut Joko, adapun solusi yang diusulkan REI antara lain yaitu, pemerintah harus segera mengeluarkan regulasi yang mendukung pembangunan massal, termasuk kebijakan pertanahan dan pembiayaan, seperti Perpres atau PP untuk memberikan kepastian hukum bagi pengembang dan perbankan.

Kemudian, untuk skema pembiayaan rumah MBR, pemerintah harus memberikan suku bunga rendah untuk rumah subsidi melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
“Selisih Suku Bunga (SSB) harus ditanggung pemerintah untuk meringankan beban MBR, sehingga angsuran menjadi lebih terjangkau,” pungkas Joko.
Selain itu, lanjut Joko, pemerintah harus membuat sistem yang berfungsi untuk memberikan pengakuan secara resmi terhadap penghasilan masyarakat yang bekerja di sektor informal.
“Kalau sistem ini dibuat, maka akan memudahkan perbankan memberikan pembiayaan, tanpa risiko tinggi, sekaligus sektor properti nasional yang memiliki efek domino sangat besar terhadap perekonomian, akan cepat bangkit,” tutup Joko.
Simak dan ikuti terus perkembangan berita dan informasi seputar dunia properti dan bahan bangunan melalui ponsel dan laptop Anda. Pastikan Anda selalu update dengan mengklik koranproperti.com dan google news setiap hari.