Program 3 Juta Rumah terancam gagal, buktinya sebanyak 15 juta keluarga membutuhkan rumah. MBR juga sulit mendapatkan rumah layak huni, karena syarat dari perbankan yang cukup ketat. Akibatnya, mereka kesulitan membeli rumah, terutama di daerah perkotaan.
KoranProperti.com (Jakarta) – Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pada tahun 2023 lalu, backlog rumah sudah mencapai 12,7 juta unit. Padahal, Pemerintah sudah meluncurkan berbagai program perumahan seperti Program Sejuta Rumah, namun masalah backlog rumah masih sulit dicarikan solusinya.
Di sisi yang sama, dalam pertemuan antara Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy di Jakarta, Jumat (1/8/2025) menyebutkan, terdapat lebih dari 15 juta keluarga masuk dalam kategori membutuhkan rumah.
Jumlah tersebut sudah termasuk keluarga yang tidak memiliki rumah, menempati rumah tidak layak huni, hingga numpang hidup di rumah milik orang lain atau saudaranya.
“Program 3 Juta Rumah harus menjadi wadah konkret dari komitmen Presiden Prabowo terhadap kebutuhan rumah rakyat. Jangan sampai ada jurang antara yang dijanjikan dan yang dikerjakan,” ucap Fahri, seperti dikutip dari siaran pers, Senin (4/8/2025).
Berdasarkan data Bappenas, salah satu penyebab utama backlog rumah sulit diatasi, karena tingginya arus urbanisasi. Pada tahun 2024 lalu, sekitar 67,1 persen penduduk Indonesia memilih tinggal di kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Hal ini terjadi karena akses peluang pekerjaan yang cukup besar. Namun, tingginya arus urbanisasi ini, tidak disertai dengan pasokan rumah yang tinggi atau sesuai kebutuhan.
Data yang hampir sama juga dilaporkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Menurut data PUPR, pada tahun 2022 lalu, backlog rumah mencapai 11 juta unit.
Sekitar 93 persen backlog itu berasal dari kalangan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), dan sekitar 60 persennya adalah MBR yang bekerja di sektor informal.
Pada tahun 2023 lalu, terjadi peningkatan backlog perumahan di Indonesia hingga mencapai 12,7 juta. Penyebabnya ialah MBR sulit mendapatkan rumah layak huni, karena syarat dari perbankan yang cukup ketat. Akibatnya, mereka kesulitan membeli rumah layak huni, terutama di daerah perkotaan.
Backlog Rumah Berpotensi Meningkat
Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa di Indonesia, kebutuhan penyediaan rumah bagi masyarakat berkisar antara 820.000 hingga 1 juta rumah per tahunnya.
Kebutuhan ini bisa dipenuhi sekitar 40 persen oleh private sector, sedangkan yang berasal dari intervensi pemerintah hanya sekitar 20 persen. Sisanya, yaitu sebanyak 40 persen tidak dapat terpenuhi sehingga menjadi yang disebut dengan backlog.
Dia mengungkapkan, selisih kebutuhan masyarakat terhadap rumah layak huni terus meningkat dari tahun ke tahun. Kalau setiap tahun dibutuhkan sekitar 1 juta rumah dan hanya 60 persen yang bisa dipenuhi baik dari private sector maupun intervensi pemerintah, maka akan selalu ada backlog. Saat ini estimasinya ada 10 sampai 12 juta backlog rumah. Angka backlog ini akan terus bertambah besar bila tidak diselesaikan.

Wamen PKP Fahri Hamzah menegaskan, dalam kondisi ideal, keseimbangan antara pasokan dan permintaan atas barang atau jasa, termasuk pengadaan rumah layak huni untuk masyarakat, diharapkan tercapai. Di Indonesia, pengadaan rumah layak huni untuk masyarakat umum dilakukan oleh pemerintah, pengembang, corporate social responsibility (CSR) perusahaan, dan swadaya masyarakat sendiri.
“Renovasi rumah juga harus dilihat sebagai bagian integral dari pembangunan rumah karena kebutuhan rakyat tidak selalu rumah baru, tapi rumah yang layak,” jelasnya.
BACA INI: Ini ‘Penyakit’ Penyebab Gagalnya Program 3 Juta Rumah, Menteri PKP Wajib Tahu…!!!
Terkait pembangunan rumah vertikal di kawasan perkotaan, Fahri mendorong perlunya pendekatan berbasis pasar, namun harus dengan dukungan negara berupa subsidi tanah.
“Jika tanah disubsidi, harga rumah bisa turun hingga 50 persen untuk rumah tapak, bahkan bisa antara 20 sampai 40 persen untuk hunian vertikal,” jelasnya.
Fahri juga mengusulkan reorientasi Perum Perumnas sebagai lembaga off-taker, untuk mengadopsi pendekatan seperti Bulog di sektor pangan.
Fahri menambahkan, untuk mengatasi backlog perumahan, diperlukan langkah-langkah yang lebih menyeluruh. Mulai dari penyediaan lahan, peningkatan akses pembiayaan, pengendalian harga tanah, peningkatan kualitas rumah subsidi. Dengan upaya yang tepat, kebutuhan rumah bagi masyarakat Indonesia bisa terpenuhi di tengah arus urbanisasi.
Bila backlog ini tidak cepat diselesaikan, menurut Menkeu Sri Mulyani, maka arus urbanisasi tidak terstruktur akan terus terjadi, akhirnya masyarakat makin banyak yang tinggal di tempat kumuh dan rumah tidak layak huni.
“Population growth di perkotaan itu sebesar 4,1 persen, jauh dari population growth secara umum karena adanya migrasi dari desa atau kota kecil ke kota yang lebih besar,” tandas Sri Mulyani.
Secara umum backlog perumahan merupakan kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat. Terus, apa dong solusi cepat Menteri PKP soal backlog rumah?
Simak dan ikuti terus perkembangan berita dan informasi terbaru seputar dunia properti dan bahan bangunan melalui ponsel dan laptop Anda. Pastikan Anda selalu update dengan mengklik koranproperti.com dan google news setiap hari.