Tata kelola pembangunan fasilitas publik di Indonesia sangat buruk, karena mengabaikan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Benarkah Kementerian PKP takut menindak tegas Pemerintah Daerah yang tidak menggratiskan PBG?
KoranProperti.com (Jakarta) – Sebanyak 358 kabupaten/kota tidak menggratiskan biaya Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) untuk rumah subsidi sampai awal Oktober 2025 ini.
Dengan demikian, baru 156 daerah yang membebaskan PBG dari jumlah 32 provinsi. Menurut data Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), daerah-daerah (156 daerah) itu, telah memberlakukan pembebasan biaya PBG terhadap 49.635 unit rumah, di berbagai kawasan di Indonesia.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perumahan Perdesaan Kementerian PKP Imran mengatakan, pembebasan PBG tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri antara Kemendagri, Kementerian PKP, serta Kementerian Pekerjaan Umum (PU) pada 25 November 2024 lalu.
“Dalam keputusan tersebut, pemerintah membebaskan pengenaan biaya Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) hingga mengatur percepatan proses pengajuan dari semula 28 hari menjadi 10 hari saja,” kata Imran saat Rakor Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (6/10/2025).
“Pembebasan PBG Rp0, khusus MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) sampai hari ini baru dilaksanakan oleh 156 Kabupaten/Kota dari 32 provinsi,” tegas Imran.
Imran memaparkan, beberapa wilayah yang memberikan pembebasan PBG di antaranya, kawasan delineasi perdesaan yakni Kabupaten Banyuasin (lebih dari 3.000). Kemudian, Kabulaten Deli Serdang (+1.300), Kabupaten Madiun (+1.200), Kabupaten Bandung (+1.200) dan Kabupaten Sumedang (+1.100). Kawasan delineasi perkotaan dengan capaian pembebasan PBG terbesar, di antaranya Kota Banjarmasin (+3.000), Kota Kendari (+2.200) serta Kota Jambi (+1.000).
Aturan mengenai PBG ini, juga tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Bangunan Gedung.
Dalam pasal 11 poin 17 PP itu disebutkan, PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
Sanksi Tidak Laksanakan PBG
PP baru ini mengatur pada fungsi dan klasifikasi bangunan gedung, standar teknis, proses penyelenggaraan bangunan gedung, sanksi administratif, peran masyarakat dan pembinaan.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021 Pasal 45 ayat (1) itu disebutkan, bagi bangunan yang tidak memiliki PBG akan dikenakan sanksi administratif. Sanksi ini diberikan setelah adanya peringatan yaitu peringatan tertulis, penghentian sementara atau tetap pada pembangunan, penyegelan, hingga pembongkaran bangunan.

Terkait persoalan PBG ini, Ketua Umum Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) Erie Heryadi mengungkapkan, tata kelola pembangunan fasilitas publik di Indonesia sangat buruk, karena mengabaikan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Menurut Erie, masalah PBG ini bukan hanya sebatas ketidakpatuhan terhadap aturan dalam membangun gedung atau bangunan, tetapi adanya mitos biaya mahal, keengganan pemerintah daerah, dan salah kaprah pemahaman wilayah privat.
“Seluruh bangunan publik, termasuk ponpes (pondok pesantren), yang tidak memiliki PBG perlu dievaluasi menyeluruh,” tegas Erie sambil menyebut, robohnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo yang dinilainya, diduga tidak mematuhi aturan PBG.
Sementara itu, Project Director Alien Bangun Nusantara Aditya W Fitrianto menuturkan, ketaatan terhadap regulasi seperti PBG dan ikut sertanya tenaga ahli bersertifikat dalam membangun sebuah bangunan adalah wajib, terutama untuk bangunan yang akan dipakai publik.
“Proses pembangunan gedung wajib diawasi oleh ahlinya, mulai dari proses konstruksi, perancangan dan desain, penetapan penyedia jasa, hingga proses konstruksi dan pemeliharaan,” tutur Aditya sambil menambahkan, dalam setiap tahapan pembangunan gedung harus ada penanggung jawab yang bersertifikat, untuk menghindari risiko cacat konstruksi yang mengakibatkan bangunan gagal dan rawan roboh.
Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Georgius Budi Yulianto menjelaskan, sebuah bangunan yang dirancang arsitek dan insinyur struktur harus mengikuti prosedur, untuk memastikan bangunan tersebut aman, sehat, nyaman, serta mudah diakses.
Sebelum digunakan, setiap bangunan publik wajib melalui proses Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Dokumen ini menjadi bukti bahwa rancangan bangunan telah memenuhi aspek keandalan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
“Jika dua proses penting ini, perancangan oleh arsitek dan penerbitan PBG, tidak dilakukan, maka risiko kegagalan bangunan akan jauh lebih tinggi,” tutup Georgius.
Simak dan ikuti terus perkembangan berita terbaru dan informasi seputar dunia properti dan bahan bangunan melalui ponsel dan laptop Anda. Pastikan Anda selalu update dengan mengklik koranproperti.com dan google news setiap hari.